MASIGNCLEAN101

Bab 1

[Semua foto saya sebelum berjilbab dihapus jadi mohon maaf jikalau kuat pada isi Blog. Doakan istiqomah ya teman-teman, terimakasih!]


Pagi itu - menyerupai rutinitasku selalu - saya bangkit tidur, selesai dimandikan dan berpakaian setelan warna hijau tua, kemudian bermain-main di rumah Mbok Tuo atau menyelinap ke sisi timur rumah – mengajak bermain anak tetangga. Priska seumuran denganku, sama tahun lahirnya, hanya beda tujuh bulan saja jaraknya saya lebih muda. Sepanjang saya bisa mengingat, dia sahabat pertama yang kumiliki dalam hidup. Orang tuaku berasal dari sebuah wilayah paling selatan dari Yogyakarta, kemudian nasib mengadu mereka mencari nafkah di pelosok nun di atas bukit; Gunungkidul. Itu nama sebuah kabupaten, tahu. Nah, orang tuaku tinggal di sana sehabis menikah, dan saya juga lahir di sana. Lahirku diperkirakan jatuh pada awal Januari 1994, tapi kemudian meleset mendahului jadi ke tahun 1993 akhir. Sehari sebelum natal dirayakan, setiap itulah saya selalu merayakan pergantian umur. Kabupaten Gunungkidul itu luas, saya menempati salah satu sudut kecil nyaris tertinggal pembangunannya di pecahan utara sana. Kampungku yang berkelok-kelok punya nama unik; Ngrandu, walau aslinya tak banyak pohon randu tumbuh di situ. Atau dulu mungkin ada tapi sudah berkurang sangat banyak jumlahnya hingga tak sanggup dikatakan ciri khas lagi. Walau tinggal di sana, tapi orang tuaku – yang sebagai pegawai negeri sipil golongan awal dulu – belum bisa membeli atau membangun sebuah rumah. Maka anggota keluarga kami yang dulu berwarga tiga orang dengan aku, tinggal menyewa di salah satu rumah penduduk yang kosong, atau disewakan bersama induk semang, di sana. Tempat pertama yang kukenal sebagai rumah yakni rumah Mbok Tuo.

Mbok Tuo – nama bahwasanya Warti – berkulit coklat legam, berambut keriting, suka tertawa renyah, dan setiap kata-katanya mencerminkan kasih sayang padaku. Usianya sudah lebih setengah abad. Kupanggil mbok tuo alasannya yakni itulah panggilan untuk nenek di kampungku. Ia pengasuhku dulu. Jadi, sudah usang bahwasanya Ibu bekerja di sebuah SD negeri seberang kampungku, kemudian sehabis tetapkan menikah dengan bapakku, mereka menyewa tempat tinggal yang bergandengan dengan tempat Mbok Tuo. Karena kedua orang tuaku bekerja, maka saya sekalian dititipkan pada Mbok Tuo itu setiap pagi hingga jam pulang kerja, semenjak saya bayi hingga mulai bisa membaca. Rutinitas kegiatan yang kulalui yang bisa kuingat akan kuceritakan, semua mulai dari saya balita, alasannya yakni cuma pengalaman semenjak usia itu yang bisa kuingat. Pada masa saya bayi, dan tentu sudah ikut diasuh Mbok Tuo juga, tentu otakku belum bisa menyimpannya. Ada sih kisah yang kudengar dari kisah Ibu atau Mbok Tuo sendiri, tapi saya tak merasa mengalaminya secara pribadi sehingga kisah itu tak terlalu kusimpan juga dalam memori.

Waktu itu umurku empat tahun. Berambut potongan pendek lurus, belah tengah yang legendaris, dan syukurlah rambutku manis semasa kecil. Hitam – tidak merah sebagaimana anak lain yang suka main di panasan – lurus, dan tidak banyak tingkah macam bercabang, ketombe, atau kutuan, juga gampang sekali disisir. Aku tak ingat apa sampoku waktu itu hingga rambutku bisa sebagus itu. Seperti anak balita pada umumnya, tinggiku belum hingga meja, berat badanku juga sedang-sedang saja, artinya tidak obesitas tidak pula kwashiorkor. Pagi-pagi saya rewel alasannya yakni ngompol di celana, ini agak memalukan bahwasanya tapi kuceritakan saja. Kaprikornus Mbok Tuo yang mengganti pakaianku dan saya siap bermain lagi. Aku sangat suka main jual-jualan, dan tertarik sekali akan cara membuka plastik buat wadah dagangan makanan, menyerupai yang dilakukan bakul-bakul jajanan di pasar. Mak Lastri yang baik hati, masih cukup muda usianya, gempal badannya, berkulit putih dan berambut ikal sebahu, memberiku lima lembar plastik klip yang biasa digunakan untuk bungkus kacang bawang, kemudian kumainkan dengan sukacita. Sungguh, kebahagiaan paling hakiki memang ada di masa kecil, dimana hal-hal sederhana saja bisa menjadi menyenangkan, alasannya yakni saya sebagai anak kecil waktu itu hanya berpikir semata pada permainanku yang mengungkap rasa ingin tahu akan plastik-plastik itu, tanpa berpikir adakah kegembiraan lain di luar sana yang sanggup kutemui.

Priska anak yang baik, dia anak Mak Lastri yang memberiku plastik tadi. Selalu sopan terhadapku, memanggiku ‘Dik’ alasannya yakni saya lebih muda, dan kalau ngobrol sesekali menggunakan Bahasa Jawa krama untuk menganggapiku yang berbicara ngoko. Hal itu dilakukannya alasannya yakni ibuku yakni guru di sekolahnya, dan bapakku yang berseragam yakni seorang pegawai negeri. Di masa sebelum reformasi itu, jabatan guru yakni hal terhormat nyaris sejajar dengan kepala desa, apalagi dengan seragam PNS-nya. Kedua orang tuaku memiliki hal itu jadi syukurlah, kehidupan kami agak terpandang walau rumah masih numpang. Priska sering sakit gigi, gusi bengkak, atau apalah saya tak tahu, yang kulihat dia kemudian diantar bapaknya ke Puskesmas di kecamatan buat menemui perawat gigi di sana. Bapaknya Priska, Pak Darman namanya, punya bengkel yang menjadi satu-satunya bengkel di kampung kami. Sepanjang masa awal kehidupan sosialku, nyaris setiap hari kulalui dengan bermain bersama Priska di rumahnya yang sekaligus menjadi bengkel bapaknya pada pecahan depan, di rumah Mbok Tuo, atau berkelana ikut ke sawah setiap ekspresi dominan menanam, menyiangi, atau panen.

Waktu saya masuk TK, Priska juga satu kelas denganku. Di kampungku tak ada TK, sekolah apapun tak ada juga. Maka kami menyeberang keluar kampung untuk memperoleh sarana pendidikan perdana. Taman kanak-kanak tempat orang tuaku mendaftarkan namaku sebagai murid itu yakni Taman Kanak-kanak ABA. Letaknya di Katongan. Kelurahan yang membawahi kampungku dan beberapa kampung lain. Jaraknya bersahabat saja, hanya satu kilometer atau sekitar lima menit ditempuh dengan berjalan kaki dari rumah Mbok Tuo, saya sudah bisa menjumpai sekolah baruku di Katongan itu. Tiap pagi saya berangkat, kadang diantar orang renta alasannya yakni sekolah SD tempat ibukku mengajar tak jauh dari TK, kadang diantar Mbok Tuo, kadang ikut bersama dengan Priska dan mamaknya. Mamak itu panggilan untuk ibu di daerahku ketika masa kecil itu. ABA yakni akronim dari Aisyiyah Bustanul Athfal, sebuah majelis pendidikan yang perannya tak lepas dari tugas Ki Ahmad Dahlan selaku pendiri gerakan Muhammadiyah, alasannya yakni TK-ku itu juga salah satu sekolah milik organisasi Islam terbesar di Indonesia itu. Walau sekolah berbasis keagamaan, seragamku waktu Taman Kanak-kanak dulu sama sekali tak berjilbab. Kemeja kuning terang sewarna cahaya mentari pagi yang menerobos rumpun-rumpun bambu, rok rempel hijau renta yang segar menyerupai daun pohon mangga, itupun masih ada dasinya, hijau renta juga, dan ada topi berwarna senada. Seingatku pada topi ada lambangnya, tapi saya lupa menyerupai apa bentuknya. Seragam nan cerah ceria itu kugunakan setiap hari senin hingga kamis, jadi saya punya dua setel pakaian yang bisa digunakan bergantian. Untuk hari jumat sabtu, seragamku lain lagi, yaitu pakaian olahraga berwarna merah muda, dengan nama Taman Kanak-kanak dicap pada punggungnya, dan pasangannya, oh bukan main manis, celana pembinaan merah hati yang bergaris pada sisi jahitannya. Seragam itu dikenakan pada hari jumat sabtu, alasannya yakni pada sabtunya kami ada jadwal pelajaran olahraga. Kedua seragam itu, pas sekali di tubuhku, dan saya merasa seolah kelak akan menjadi wakil presiden perempuan dengan seragam itu. Sebagai anak kecil yang ibunya berlatar belakang pendidikan dasar, tentu saya senang sekali mulai bersekolah, dan waktu itu punya tekad yang kuat untuk melanjutkan pendidikanku kelak hingga tinggi.

Siang itu, belum terlalu siang sebenarnya, sekitar pukul sepuluh saya dan Priska gres pulang sekolah sehabis masuk dari pukul setengah delapan tadi. Taman kanak-kanak sebetulnya bukanlah sekolah melainkan sebuah kelompok bermain, tapi supaya gampang disebut maka kukatakan sekolah saja. Di sekolah tadi ada program makan bersama sehabis kegiatan berguru mengajar dirampungkan lebih awal. Ini kegiatan rutin setiap hari jumat di sekolahku yang digagas oleh Bu Larmi dan Bu Yayuk, dua guru resmi pertamaku. Bu Larmi berpembawaan angker, tubuhnya yang gemuk dipadu raut wajah yang jarang tersenyum membuatku ingin terkencing-kencing alasannya yakni takut padanya di hari pertama masuk sekolah. Bayangkan Cik Gu Besar di serial animasi Upin & Ipin, nah menyerupai itulah ibu guruku. Konon berdasarkan kisah kawan-kawan baruku di TK, Bu Larmi populer galaknya. Syukurlah, hingga lulus setahun kemudian, saya belum pernah sekalipun terkena semburan kemarahannya. Bu Yayuk kebalikannya, tubuhnya kurus tinggi agak melengkung, dan pembawaannya suka tersenyum sambil kadang terkekeh-kekeh walau tak ada suatu hal pun yang lucu. Melihatnya menyerupai melihat daun kelapa ditiup-tiup angin, ramah tetapi agak membosankan. Dua ibu guruku selalu tiba mengajar setiap hari, kadang merajai satu kelas berduaan. Tak terang kenapa tidak satu-persatu bergantian saja, ataukah memang menyerupai itu tata cara mengajar anak taman kanak-kanak? Keduanya tinggal tak terlalu jauh dari TK-ku, masih dalam lingkup satu kecamatan. Dari kedua guru TK-ku ini saya menaruh respek yang sama, tak ada salah satu yang kufavoritkan lebih dari yang lain. Beliau berdua sudah usang mengajar di Taman Kanak-kanak tempatku sekolah itu, dan masih mengajar lagi terus hingga angkatan-angkatan jauh setelahku. Guru Taman Kanak-kanak di tempatku sekolah tak pernah berganti, orangnya selalu itu-itu saja, dan tak pernah ada guru lelaki. Entahlah mengapa.

Makan bersama rangkaian acaranya selalu sama. Kami para murid Taman Kanak-kanak membawa kuliner dari rumah masing-masing, kemudian nanti di kelas akan ditukar-tukarkan dengan sahabat yang lain. Semacam kado silang begitu, tapi semua isinya yakni makanan. Makan bersama itu, tak terang bagiku maknanya apa alasannya yakni jam diadakannya tanggung. Dikatakan sarapan sudah terlambat, mau disebut makan siang belum masuk tengah hari. Karena kami anak kampung, kuliner yang dibawa tentulah nasi dengan lauknya saja. Itu sajian yang standar dan bisa disajikan baik pagi, siang, maupun petang. Tak ada yang kepikiran membawa appetizer semacam sup-supan atau salad buah, apalagi kerasukan wangsit membawa puding buat pencuci mulut. Pendek kata, sajian kuliner yang dibawa kami sekelas nyaris sama semua, nasi dengan lauk, dan itu berulang setiap jumat dalam seminggunya. Agenda pelajaran pada hari jumat dikurangi, dan kami para murid beserta dua guru sibuk dengan program makan-makan di final pelajaran. Ibuku tak pernah sempat memasak pagi-pagi, jadi selalu kuliner Mbok Tuo yang kubawa. Pagi itu bekalku yakni nasi liwet yang dimasak pakai ketel, sedikit pera, dengan lauknya kering tempe pedas bercabai-cabai. Tak tahu mengapa kuliner Mbok Tuo selalu menggunakan cabe dalam jumlah berlebihan, tapi memang itu ciri khas kuliner orang di tempat sana. Pedas, tapi enak. Meskipun saya tak suka cabai, tapi kalau makan kuliner pedas Mbok Tuo, rasanya bisa juga kutelan. Jamanku kecil dulu – antara tahun 1997 - belum menjamur orang membawa kuliner dalam wadah box plastik, jadi kuliner sedapku hari itu dibungkus dalam daun pisang dari kebun Mbok Tuo sendiri, dan diikat tali karet supaya tak tumpah berceceran. Bau daun yang harum menambah lezat rasa makanan, itu yang kupelajari sehabis saya sampaumur nanti. Waktu kuliner tersebut kukumpulkan pada bu guru untuk kemudian dibagikan secara acak, bertukaran dengan mitra lainnya, saya menerima sebuah bungkusan daun juga, kali ini agak beda, daunnya jati tua. Aku tak makan pagi itu di sekolah, mungkin alasannya yakni tak terlalu lapar, jadi kubawa pulanglah saja si bungkusan daun jati yang belum berkurang sesuap pun isi dalamnya. Biasanya kumakan di sekolah. Aku terbiasa makan sendiri semenjak kecil, jarang sekali disuapi. Teman-temanku sekelas sebagian ada yang menyerupai aku, bisa makan menggunakan tangan sendiri, atau masih disuapi mamaknya yang sedari mengantar pagi tadi setia menunggui anaknya di luar gedung TK.

Aku tak pernah ditunggui semasa sekolah. Pagi kalau sudah diantar, niscaya selanjutnya saya ditinggal. Jika yang mengantar bapakku, sekalian mengantar ibuku mengajar, maka seterusnya ia akan memacu sepeda motor Astrea lawasnya ke sebuah Sekolah Menengah Pertama nun jauh puluhan kilometer dari kampungku, untuk menepati kewajibannya mengabdi sebagai pegawai tata usaha. Ibuku sendiri, kalau mengantarku sambal berjalan kaki, niscaya tak kan menunggui alasannya yakni ia harus segera menuju SD-nya untuk mengajar para kakak kelasku di sana. Kalaupun yang mengantar yakni Mbok Tuo atau dititipkan pada Mak Lastri, berikutnya niscaya ditinggal juga Karena ia berdua harus segera ke ladang umtuk mengurus tanaman palawija, atau ke sawah untuk merawat padi. Maka saya tinggal sendiri selama pelajaran berlangsung, Priska juga, beberapa temanku yang lain juga. Sementara sebagian lain yang cengengnya keterlaluan, anak bungsu mamaknya, masih menyusu, atau terlampau manja, beramai-ramai ditunggui di luar gedung sekolah, hingga jam kelas berakhir nanti. Di luar gedung itu, mereka saling bercakap-cakap. Kadang dengan sesama mereka, ibu-ibu rumah tangga sejati para pengurus anak, atau juga melibatkan Lik Sumini, penjual kuliner kecil di depan sekolah yang langganannya tak lain dan tak bukan para penghuni TK, plus warga SD yang letak sekolahnya berhadapan dengan TK-ku. Begitu terus setiap hari, tak bosan-bosan menyerupai juga kami yang berguru di dalam kelas sini.

Jam sepuluh pagi, program makan bersama berakhir, Kalau ada yang tak habis atau tak mau makan boleh dibawa pulang, biasanya dibungkuskan oleh ibu guru biar rapi. Aku dan Priska bergegas ke ladang menyusul mamaknya dan Mbok Tuo-ku. Matahari jam 10 masih hangat, tak panas menyengat, kami bisa berjalan dengan tenang. Ladang itu tak jauh letaknya dari TK, hanya perlu menuruni jalanan ke selatan, kemudian belok timur sedikit berjalan kaki, dan sampailah kami. Di sana, kuserahkan bungkus makanku pada Mbok Tuo. Lauknya hampir sama dengan yang kubawa, kering tempe juga. Tempe yang dipotong kecil-kecil, ditumis dengan bumbu-bumbu dasar, dan diberi kecap. Mbok Tuo-ku menyambutnya dan eksklusif memakannya sambil tertawa kepadaku.

“Ngerti wae koe Nduk, Mbok Tuo lagi ngelih”, ungkapnya terkekeh padaku.

Aku tertawa saja, mungkin tak mengerti maksudnya waktu itu, tapi senang melihat Mbok Tuo-ku makan.

Aku dan Priska kemudian mengintip jambu biji dalam tenggok yang ditutup sehelai kain jarik penggendongnya.

“Makanlah, itu gres kupetik tadi dari pohon. Sudah masak, dagingnya merah dan empuk. Manis sekali. Tadi ada banyak, sebagian kubuang alasannya yakni sudah dimakan codot”, ujar Mak Lastri yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

Aku tentu senang mendengarnya, Psidium Guajava yang kuning berbinar-binar itu membuktikan hatiku. Aku dan Priska mengambil sebiji masing-masing, eksklusif memakannya dengan gigi – semacam kelinci. Kulitnya yang kuning mulus agak sepat, tapi isi dalamnya yang merah muda menarik hati sungguh manis sekali. Khas pesona buah yang masak di pohon, bukan hasil imbuan atau karbitan para pedagang nakal. Kuhabiskan satu, dan selesai itu Mbok Tuo sudah menyelesaikan makan. Kami pulang ke rumahnya – atau boleh dikatakan rumahku juga alasannya yakni saya mondok di sana – dengan berjalan kaki. Mbok Tuo menggendong tenggok berisi jambu, perlengkapan berladangnya, dan entah apalagi, sementara saya dan Priska berjalan menggendong tas sekolah masing-masing. Mamaknya masih tinggal di ladang. Kami bertiga berjalan dalam diam, Karena matahari sudah mulai menyiratkan hawa panasnya ke ubun-ubun kepala.


# # #

GLOSARIUM

codot: jenis kelelawar pemakan buah

krama: salah satu tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa, pemakaiannya sangat baik untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau orang yang lebih tua. Memiliki dua jenis bahasa, yaitu krama inggil yang biasa digunakan untuk menghormati orang yang lebih renta atau lebih berilmu, dan krama madya yang biasa digunakan untuk orang yang setingkat namun untuk menawarkan perilaku yang lebih sopan.

kwashiorkor: salah satu bentuk malnutrisi atau gizi buruk

Ngerti wae koe Nduk, Mbok Tuo lagi ngelih (bahasa Jawa): Tahu saja kau nak, Mbok Tuo sedang lapar

ngoko: salah satu tingkatan dalam bahasa Jawa. Umumnya digunakan di kalangan orang yang berumur sebaya dan dihindari untuk berbicara dengan orang yang lebih renta atau yang dihormati.

Psidium Guajava: nama ilmiah jambu batu
Share This :
Johan Andin