MASIGNCLEAN101

[Experience] Mengunjungi Bag End, Rumah Hobbit Mr Bilbo Baggins Versi Lokal

[Semua foto saya sebelum berjilbab dihapus jadi mohon maaf jikalau besar lengan berkuasa pada isi Blog. Doakan istiqomah ya teman-teman, terimakasih!]

Kamu penggemar trilogi The Lord of the Rings? Sudah nonton ketiga film maupun baca bukunya? Merasa lega Sauron sang penguasa kegelapan tydac sanggup menjajah kemerdekaan kita? Atau justru kepincut Frodo dan Legolas? Ah kau senasib sepenanggungan sama saya yang sesaudara penyuka karya-karya Professor John Ronald Reuel Tolkien juga. Tapi ngomong-ngomong tahu nggak? Professor JRR Tokiens menulis kisah pendahulu sebelum fantasi mahakarya The Lord of the Rings lho. Judulnya ialah The Hobbit. Kisahnya wacana Bilbo Baggins dan petualangannya sebagai orang keempat belas penangkal sial rombongan kurcaci dalam perjalanan merebut kembali harta yang dijaga naga di bawah Gunung Sunyi. Kalau mau tahu dongeng lengkapnya baca bukunya aja atau nonton filmnya, saya nggak akan mengulas lebih lanjut di sini alasannya ini pos untuk nulis pengalaman liburan bukan resensi buku, oce?

Tapi saya bahas juga dikit deh. Makara di The Hobbit, Mr Baggins diceritakan tinggal di liang hobbit-nya, yang berjulukan Bag End di Hobbiton. Hobbiton atau desa hobbit yang dibangun untuk digunakan dalam shooting film aslinya berada di Selandia Baru. Sumpah itu keren banget dan saya bermimpi-mimpi suatu ketika sanggup liburan ke sana. Sekarang, sebelum punya cukup dana untuk ke New Zealand, rasanya boleh juga kalau saya ke Bag End yang ada daerah wisata Seribu Batu Songgo Langit, bersahabat Mangunan yang sudah saya kunjungi sebelumnya. Nah kali ini saya akan menceritakan pengalaman ketika jalan-jalan di daerah wisata Seribu Batu Songgo Langit, termasuk Bag End-nya!

Baca juga: [Experience] Jalan-Jalan Pagi di Kebun Buah Mangunan

Terletak agak menjorok ke kedalaman hutan pinus, lokasi ini sanggup dicapai dengan kendaraan bermotor diparkir di tepi, trus kitanya jalan kaki semakin ke dalam menuju beberapa spot utama. Pintu masuknya berupa bangunan ala segitiga yang didirikan dari materi ibarat sarang burung, dengan ranting-ranting mencuat gitu. Di balik pintu masuk ini terdapat jembatan setapak sebagai jalan menuju lokasi-lokasi favorit wisatawan untuk dikunjungi. Oh iya, retribusi masuk dan biaya parkir lebih murah dari di Mangunan tadi, di sini hanya Rp. 3.500 saja per orang. Murah syekali kan?

Masuk, trus menyusuri jembatan yang ukurannya tidak terlalu besar, cukup dilewati satu orang dengan leluasa, namun kalau bergandengan dua-dua bakalan berasa sempit. Makara berjalanlah satu-satu dan kalau berpapasan dengan orang dari arah berlawanan sebaiknya gantian lewat, jangan berantem kayak alay rebutan pacar. Jembatan ini terbuat dari susunan kayu, cukup kuat dipijak bahkan saya pakai lonjak-lonjak pun tidak bergerak - itu alasannya saya ringan. Di kedua sisinya dipagari dengan kayu juga yang dibuat berseni sedemikian rupa jadi anggun dilihatnya. Di bawah jembatan ada pemikiran kecil air, saya nggak tahu ini layak disebut sungai tidak, tapi airnya cukup jernih dan mendengar gemericiknya menciptakan hati saya menjadi adem. Baidewai pada foto di atas fokusnya ke saya aja, jangan salah arah ke bapak-bapak mau lewat yang masih jauh di ujung jembatan.

Selesai melewati jembatan kayu, sampailah saya pada tanah lapang yang tidak ditumbuhi rumput. Rada becek dan sepulang dari sini saya membawa sepatu penuh jejak tanah kemerahan yang belum dicuci hingga ketika ini. Untuk menuju rumah hobbit, ada plang penunjuk arah ke sebelah kanan, namun saya mampir dulu ke depan, ada gubuk-gubuk menarik yang belum usang ini digunakan shooting Keluarga Tak Kasat Mata. Itu lho pas adegan Mbak Rere alias Aura Kasih lagi ngobrol-ngobrol di sini dan diceritain soal pesinden yang dikubur di bawah tempat duduknya, hiiy! Filmnya agak mengecewakan alasannya ending-nya gaje, tapi sinematografinya cakep, dengan pemilihan tempat-tempat indah untuk visualisasi adegan. Setelah digunakan shooting itu, saya yakin tempat ini nambah banyak pengunjung wisatanya.

Terdiri dari sejumlah gubuk - saya lupa ngitung - suasana tempat ini nggak seserem pas di film. Ada satu tangga bebatuan menuju gubuk utama nun di atas, dengan gubuk-gubuk lain di sekelilingnya, membentuk aksara U ibarat susunan pondok di perkemahan blasteran. Di depan setiap gubuk terdapat satu dingklik tempat duduk memanjang. Gubuknya sendiri punya ruangan di dalam, tapi saya ngga berani masuk, takut rubuh mendadak alasannya si gubuk terlihat rapuh. Gubuk ini dibuat dari susunan kayu, tapi ada beberapa belahan yang kayunya sudah lapuk atau hilang. Nyoba duduk-duduk di depan gubuk, rasanya agak mistis, hahaha. Mendadak sunyi gitu padahal di sini rame dan saya berdua sama temen juga. Ah ini hanya perasaaan saya saja kali. Terbawa adegan pas ada tangan menjulur dari bawah dingklik di belakang Mba Aura :'D.

Sudah banyak yang antri mau foto di spot gubuk ini, jadi mari kita lanjut saja ke rumah hobbit, yey! Bag End ini terbuat dari kayu dicat, dengan bentuk setengah lingkaran warna perpaduan orange dan coklat. Pintunya berwarna hijau renta dengan pegangan bulat, dan di sekelilingnya dihiasi ornamen bata. Di sisi-sisi pintu terdapat hiasan berupa seperti kanopi, dengan topi sihir bertengger di atasnya. Mungkin itu punya Gandalf yang ketinggalan. Di atas atap ditumbuhi rumput-rumputan yang sebagian menjuntai, dan di bawahnya, mengapit pintu bulat terdapat dua jendela berbingkai putih. Rumah hobbit ini saya nggak tahu sanggup dimasukin enggak, tapi selama ini belum pernah lihat pintunya terbuka. Tingginya mungkin hanya sekitar dua meter, kalau saya berdiri di depan bakal lebih tinggi dari pintunya. Di depan rumah, terdapat lantai papan dengan tiga dwarf berjanggut sedang tersenyum - eh satunya melotot. Tentu saja ini hanya patung sodara-sodara, bukan kurcaci beneran.

Ini saya sedang mencoba memulai pembicaraan dengan salah satu kurcari nyengir yang saya pikir ialah Thorin Oakenshield sang pemimpin pasukan. Tapi kok ia diem aja ya? Lagipula Thorin kan biasanya nggak punya selera humor -_-'. Jenggotnya juga belum beruban. Makara ini niscaya bukan Thorin. Huh padahal kan saya punya ilham hebat untuk pakai GPS dalam menyusuri Mirkwood jadi para kurcaci nggak perlu tersesat ketika keluar dari jalan setapak Peri. Khan saya sanggup jadi penunjuk arah dan diajak untuk mendatangi Smaug. Eh andai Smaug masih hidup hingga ketika ini, niscaya bukannya serem malah pada diajakin wefie dan nge-vlog kali ya?

Di depan kurcaci songong yang diem aja diajak ngomong, terdapat pagar coklat mungil dan tanaman hias di luarnya. Ini ibarat tanaman ibuk saya di rumah. Sepertinya selera berkebun para hobbit sama dengan ibuk saya. Ngomong-ngomong, ini kan saya ada di rumah hobbit, tapi kok malah hobbit-nya nggak ada ya? Yang nongkrong cuma tiga kurcaci, dua di bersahabat pagar, satu di pojokan ibarat terkucilkan. Di mana Bilbo? Ah bagaimana kalau saya saja yang diajak berpetualang menggantikan Bilbo :D? Tapi tampaknya tidak sanggup ya mengingat saya kebetulan jadi terlalu tinggi untuk naik kuda poni bareng para kurcaci. Jadi, saya pindah berwisata ke lokasi lain aja deh. Bye Bag End!
Share This :
Johan Andin