MASIGNCLEAN101

[Experience] De Tjolomadoe, Bagaimana Kalau Bekas Pabrik Gula Dijadikan Destinasi Wisata?

[Semua foto saya sebelum berjilbab dihapus jadi mohon maaf jikalau besar lengan berkuasa pada isi Blog. Doakan istiqomah ya teman-teman, terimakasih!]

Ada yang berasal dari atau ketika ini tinggal di Solo Raya? Hari ini saya mau dongeng soal objek kunjungan gres warga Solo yang belum usang dibuka dan masih hits-hitsnya. Sebenernya ini lokasi objeknya bukan pas di Solo sih, soalnya pas saya search di peta alamatnya masuk di Karanganyar, Jawa Tengah. Tapi alasannya yakni wong Solo biasa nyebut area situ Solo juga, yawis saya mempermudah saja. Yang penting udah saya sertain alamat sebenarnya. Jadi, ada yang sudah sanggup menebak tempat mana yang akan saya kisahkan ini? Kalo belum simak terus ke bawah ya!

Kos saya di daerah Colomadu. Beberapa bulan yang kemudian pas saya lewat-lewat jalan utama daerah tersebut, lagi ada perombakan besar-besaran sebuah kompleks gedung. Tadinya saya kira itu bangunan Puskesmas atau mau dibikin proyek pom bensin baru, tapi ternyata itu yakni perombakan bekas pabrik gula. Yep, tepat! Saya sedang ngomongin areal pabrik gula Colomadu yang kini berjulukan De Tjolomadoe. Ini merupakan satu gedung besar berhalaman luas yang dulunya yakni pabrik tapi kini dirubah jadi museum dengan keberdaan cafe juga di dalamnya. Makara destinasi wisata gitu deh jadinya.

Ngomong-ngomong, saya selalu suka mendengar kata pabrik gula. Saya pernah baca bukunya Pram dengan tokoh Minke-nya yang banyak mengupas soal pabrik gula di Tulangan, Jawa Timur. Saya pernah piknik ke pabrik gula yang di Klaten, tepatnya di Gondang Winangoen. Pokoknya saya suka gula, apalagi pabriknya :D!

Nah dua mingguan yang lalu, pada suatu sore yang selo kebetulan saya diajak sahabat nengok ke De Tjolomadoe alasannya yakni penasaran. Kebetulan kami memang belum pernah ke sana walau erat dari kos dan sering lewat. Museum gula itu sudah beberapa waktu dibuka, beberapa bulan kayanya tapi eke ngga ngerti hitungan tepatnya. Sekitar jam empat sore, maka kami jadi ke sana. Buat masuk gratis ngga pake tiket, cukup bayar parkir kayak di mall aja per jam dua ribu dan akumulasi seterusnya. Sempat baca wacana sih kalo kelak untuk masuk ke sini ada retribusinya, tapi pas saya tiba itu belum dikenakan.

De Tjolomadoe terdiri dari areal parkir yang luas di depan, trus hamparan paving block menuju gedung utama, beserta gedung-gedung kecil fungsional di sekitarnya, dan rerumputan serta area taman bunga. Di depan gedung utama ada pelataran yang dihias huruf-huruf balok nama tempat ini dalam bentuk cor-coran semen yang tentu saja dicat. Pintu masuk gedung museum gede abis, tinggi dan lebar. Di situ dijaga dua satpam seakan-akan pemain sinetron yang sebentar-sebentar menghambur keluar mengingatkan pengunjung biar jangan menginjak rumput. Gedung ini ditulis milik BUMN, ya saya tahu pas masih berfungsi sebagai pabrik gula niscaya ini milik negara, tapi pas udah jadi museum ternyata masih juga.

Bangunan gedung ini masih baru, alasannya yakni belum usang dipugar. Dindingnya kokoh dan catnya masih bersih. Pada dinding terdapat sejumlah pintu tertutup yang dikawat segala kayak sisi luar lapangan basket atau futsal. Di balik kawat nampaklah pintu berbahan kayu yang saya ngga ngerti diangkut dari pohon apa, trus cat di pintunya super kinclong kayak habis dililin atau diguyur lip gloss. Di atas pintu-pintu ini terdapat jendela-jendela kotak tinggi. So pretty so luxurious! Material kayu cukup estetik untuk sebuah museum klasik, tapi kilaunya sungguh modern. Ditambah perpaduan warna cat krem dan abu-abu yang tematik nyambung sama jendela, baguslah pokoknya! Depan pintu ini yakni area berumput yang dihentikan diinjak tapi jan khawatir bebqu kalian sanggup lewat melalui jalan setapak dari susunan paving block lagi untuk melewatinya. Oh iya, dari belahan depan pas saya masuk tadi hingga jalan ini kawasannya higienis sekali walau banyak pengunjung berdatangan.

Sebelum masuk museum yang masih gratis, saya menyempatkan diri dulu memutari gedungnya. Walhasil saya berjumpa dengan deretan blok-blok taman ini, yang di tengahnya nggak ada bunga tapi diisi rumpun rapi flora berdaun warna-warni. Ada hijau, ungu, nge-pink, flora apa sih ini namanya? Bolehlah saya minta buat ditanam di rumah? Tamannya rapi dan bersih. Nggak ada sampah berceceran, bahkan sehelai daun rontok pun tydac. Keren sekali. Begini seharusnya tempat wisata, higienis memanjakan mata dan menciptakan pengunjung betah, mana gratis lagi

Tamannya ramai dan alasannya yakni ada belahan untuk duduk di tepi daerah rumpun dedaunan warna-warni, maka banyak pengunjung rehat di sini. Rata-rata pengunjung kayaknya tiba pas sore ya, terbukti pas saya ke sana petang hari yang dateng selain saya banyak juga. Hampir semua kalangan ada berbaur di sini. Mulai dari belum dewasa kecil yang udah dikasih gadget ada, dewasa kecanduan selfie ada, kaum vlogger bawa kamera professional ada, hingga sekeluarga dengan anggota bermacam-macam umur dari yang gres ulang tahun pertama hingga lansia juga ada. Orang pacaran? Apalagi. Banyak.

Sisi gedung yang mengandung ke taman tersusun atas banyak beling gelap yang memantulkan sinar mentari surup pas saya datang. Ngomong-ngomong siapa ya arsitek perancang De Tjolomadoe ini? Two thumbs up! Sekarang, saya mau masuk ke dalam gedung museumnya. Ikutin terus ya!

Masuknya dari depan yang ada pak satpamnya tadi. Di dalam, eksklusif pandangan saya disambut mesin-mesin abu-abu berjajar dipagarin. Sepertinya ini area penggilingan tebu kalo saya nggak salah. Ada papan namanya sih tapi lupa nggak kefoto jadi saya nggak sanggup ngecek ulang. Mesin-mesin ini nampak gres dicat ulang. Semua terbuat dari besi, soalnya saya ketok-ketok keras. Dari sekian mesin ini, semuanya sambung menyambung menjadi rangkaian paralel yang jikalau dioperasikan - dan dulunya saya rasa memang alat ini beroperasi - akan menggerus tebu jadi manisnya gula. Ada kolam penampungan juga di ujung jalinan mesin, belahan itu dibingkai kaca.

Sebagian alat berat ini memang dipagari dan disegel, tapi ada juga sisanya yang bebas disentuh. Nah di samping area mesin giling tersebut, ada ruangan lain yang mungkin berfungsi untuk melanjutkan proses produksi gula. Saya nggak lanjut masuk jadi nggak sanggup cerita. Saya waktu itu lanjut ke tepi tembok yang ada sofanya soalnya. Sambil istirahat duduk-duduk santai pada sofa empuk bagai di rumah sendiri, saya sanggup mengamati foto-foto yang disusun di tembok belakangnya. Isinya wacana before after pabrik gula menjadi museum dan semacamnya begitulah.

Saya dan sahabat saya nggak masuk cafe-nya soalnya kami pelit dan sedang misqin. Dari review yang pernah saya kesasar baca sih sang cafe dikonsep internasional, dengan harga kalo kau beli es teh aja segelas nominal bayarnya jadi dua puluh lima ribu satuan rupiah. Berarti selembar duit seratus ribu cuma sanggup empat gelas yang bikin kembung. Bayangin kalo beli di luar itu sanggup mampu seember sob secara ice tea di warung cuma dua rebu lima ratus segelas plus es kerikil gede-gede. Saya nggak nge-judge sih alasannya yakni belum menunjukan sendiri, tapi itu sekedar informasi saja yang sekiranya sanggup dibagi-bagi.

Jelang malam kami keluar dari museum. Keluarnya lewat pintu yang sama dengan waktu masuk. Eh ya spot yang saya pakai foto di atas yakni belahan dalam pintu luar yang saya gunakan juga untuk foto sebelumnya, itu lho pintu yang dijalini kawat besi kayak kasa nyamuk. Nggak tahu tempat ini tutupnya jam berapa, waktu itu saya pulang jam setengah tujuh masih rame orang soalnya dan satpamnya juga masih santai nggak keburu nyuruh pengunjung balik. So far, berdasarkan saya De Tjolomadoe layak dikunjungi. Kamu sanggup sekedar jalan-jalan hunting foto, wisata edukasi ngeliat mesin penjalan produksi gula, atau nongki-nongki manis deh. Ngajak jalan gebetan juga boleh ke sini, mumpung tempatnya masih tergolong baru. Jangan lupa bekali diri dengan pengetahuan sekedarnya, supaya kau sanggup sok-sokan ngejelasin isi museum kayak tour guide.

Nah sekian dulu experience yang sanggup saya ceritakan hari ini. Selamat ikut mengunjungi dan semoga suka. Majukan terus destinasi wisata lokal, biar pendapatan daerah kita makin naik. Saya seneng banget sanggup main ke De Tjolomadoe, dan walau bukan anak daerah sini tapi saya besar hati atas pembaharuan tempatnya. Keren bebs dan worth it untuk didatangi :). Oke, hingga jumpa di pos berikutnya, byeeee *lambai-lambai princess*!
Share This :
Johan Andin