MASIGNCLEAN101

Bab 2

[Semua foto saya sebelum berjilbab dihapus jadi mohon maaf bila besar lengan berkuasa pada isi Blog. Doakan istiqomah ya teman-teman, terimakasih!]

Gedung sekolah TK-ku sesungguhnya bukan bangunan yang semenjak awal direncanakan untuk tempat berguru mengajar. Melainkan sebuah rumah bau tanah milik penduduk setempat yang juga sama tuanya, dan disewakan lantaran dulunya Taman Kanak-kanak kami belum mempunyai gedung. Karena tadinya rumah, maka bentuk sekolah TK-ku tentu menyerupai rumah pada umumnya. Berupa sepetak bangunan, sekat-sekat ruang dalamnya sudah dilucuti sehingga menjadi sebuah ruang besar, dan pintunya cuma satu di cuilan samping rumah. Aku tak paham siapa arsiteknya dulu sehingga menempatkan pintu di samping dan bukannya di cuilan depan bangunan. Dindingnya terbuat dari susunan bata yang direkatkan, belum disemen luarnya sehingga tidak sanggup dicat, dan pintunya dari kayu yang dicat merah. Seingatku cuma ada satu pintu masuk yang sekaligus jadi exit door. Mungkin penghuni rumah sebelum jadi sekolah ini tak suka ada pintu belakang lantaran maling suka masuk dari situ.

Bangunan Taman Kanak-kanak menghadap ke timur - dilihat dari posisi pintu samping. Tapi begitu masuk, akan nampak kalau sesungguhnya acara berguru mengajar dalam ruangan menghadap ke depan yang berarti sisi selatan. Bagian timur gedung mempunyai halaman yang luas, lebih luas dari gedung sekolahnya bahkan. Di halaman ini, sisi utara diberi sumur dan kamar mandi, sementara sisi selatannya ditamani singkong dan kadang tanaman apa saja yang sanggup tumbuh di situ. Ya, sebutlah itu kebun. Di tengah-tengan antara sumur dengan kebun, terdapat jalan tanah yang sempurna menuju gerbang keluar. Yang kusebut gerbang itu sesungguhnya tak lebih dari dua buah gapura semen yang menjadi semacam pintu masuk menuju ke TK. Sepasang gapura tadi semula berwarna putih, tapi lantaran faktor usia maka menjadi abu-abu kusam. Desa tempat TK-ku berada sangat jarang didatangi mahasiswa KKN, jadi tak ada tenaga sukarelawan yang mau mengecatnya ulang. Di depan gapura, terdapat jalan yang membatasi Taman Kanak-kanak dengan pelataran SD. Di pinggir SD itu, berhadapan dengan TK, duduklah dua penjual masakan kecil yang semenjak saya mulai sekolah sudah kuingat ada di situ. Mereka telah memonopoli tempat berdagang selama bertahun-tahun. Keduanya saya kenal, Lik Suminah yang sekampung denganku, dan satunya lagi Lik Sumini yang merupakan penduduk desa setempat. Kenapa namanya terdengar senada? Entahlah, mungkin mereka ditakdirkan berjodoh untuk sama-sama mengais rezeki di depan Taman Kanak-kanak - sekaligus depan SD itu.

Di jaman saya TK, dagangan yang sedang laku yaitu balon tiup dan lempeng bersaus. Balon tiup tentulah bukan nama makanan, melainkan sebuah mainan. Ia berwadah tube aluminium kecil macam pasta gigi. berbentuk gel warna jingga aneh berbau tajam yang menciptakan kecanduan ingin menciumnya terus, dan sanggup ditiup sehabis dikaitkan pada ujung peniup yang menyerupai terbuat dari batang cotton bud. Entah siapa yang memproduksinya, tapi warna kemasannya selalu sama. Tube aluminium kecil tadi selalu dililiti kertas pink dan peniupnya selalu berwarna kuning. Bagi kami dulu, bawah umur TK, balon tiup sungguh mainan yang ajaib. Gel jingga tadi ketika ditiup akan berubah melembung serupa gelembung sabun tapi tak gampang pecah. Pendeknya ia menyerupai balon transparan. Kami sering berlomba-lomba meniupnya, siapa paling besar ia yang menang. Waktu sehabis ditiup ia sanggup dimainkan, atau dipecahkan lagi buat ditiup lagi. Harganya murah sekali waktu itu, hanya seratus rupiah saja kami sudah sanggup bersenang-senang dengan gelembung balon tiup.

Lempeng bersaus lain lagi, itu salah satu jenis jajanan kegemaran para anak TK. Lempeng dalam bahasa tempat kami yaitu sebuah kerupuk singkong yang tipis dan lebar semacam lempengan. Biasanya dibuat dari gabungan singkong bercampur tepung dan entah bumbunya apa, kemudian sehabis diadon dibuat bulatan panjang, diiris tipis-tipis, dan dijemur. Setelah kering ia sanggup digoreng dan akan mekar menjadi lempeng singkong yang renyah. Prinsip memasaknya menyerupai cara memasak kerupuk instan bukan? Dijajakan seharga seratus rupiah juga, lempeng ini berpasangan dengan saus tomat yang disediakan penjualnya. Rasa cantik dan renyah dari lempeng berpadu dengan pedas kecutnya saus, entahlah kombinasi rasa menyerupai apa bila dikunyah. Aku sendiri tak gemar jajanan itu, hanya bahagia melihat teman-temanku makan. Sebabnya tak lain tak bukan lantaran saya tak suka rasa pedas dari saus yang dingin.

Selain balon tiup dan lempeng saus, Lik-lik penjaja masakan tadi juga selalu membawa nasi bungkus kecil-kecil dibungkus daun pisang. Bayangkan, sebungkus nasi dengan kering tempe - selalu itu lauknya - cuma dihargai seratus rupiah saja. Memang tak kan kenyang makan sebungkus, tapi dua bungkus sudah tidak mengecewakan untuk mengganjal lambung-lambung kecil kami. Betapa murahnya hidup sebagai anak Taman Kanak-kanak tahun 1997. Aku tak terbiasa sarapan pagi di rumah. Kaprikornus kadang kalau lapar, ya beli nasi bungkus kecil tadi. Seiring berjalannya waktu, kelak nasi bungkus itu akan berkembang variannya dengan menambah hidangan nasi goreng di dalamnya - harganya masih sama.

Jam sekolah ketika Taman Kanak-kanak berlangsung singkat, tak hingga tiga jam. Biasanya saya berangkat pukul setengah delapan, kemudian kelas dimulai pukul delapan, dan diakhiri kalau tidak pukul sepuluh ya sebelas pagi. Saat pertama masuk yang dilakukan kedua ibu guruku yaitu memimpin berdoa, dari situlah saya pertama mengenal tata cara berdoa sebelum berguru berdasarkan pedoman agama yang kuanut. Oh ya perlu kuceritakan dulu, saya muslim, orang tuaku juga muslim. Bukan bermaksud menyinggung soal agama, tapi ini kuceritakan sekedar untuk pemahaman saja. Setelah berdoa, kami diabsen dengan maju satu persatu membalik gantungan buah bertuliskan nama-nama kami pada pohon kayu yang berfungsi sebagai papan. Usai program mangkir mengabsen tadi, kemudian kami dibagikan masing-masing sebuah buku tipis yang lebar, semacam lembar kerja siswa. Buku itu sungguh menarik, di dalamnya memuat banyak sekali goresan pena dan gambar yang akan memandu kami berguru mengenal abjad, angka, baca tulis dasar, dan berhitung.

Sejak awal memegang buku tersebut, saya merasa menyukainya. Darinyalah saya berguru membaca, menulis, dan berhitung dasar. Di cuilan sampul, terdapat kolom untuk para siswa menulis nama. Dari rumah saya sudah dibekali Ibu dengan sedikit pelajaran mengenal huruf maupun angka, termasuk cara menulis namaku sendiri, jadi saya tak mengalami kesulitan sama sekali untuk menggoreskan namaku di depan buku tersebut dengan pensil. Oh iya, selama duduk di dingklik Taman Kanak-kanak alat tulis yang digunakan memang hanya pensil dengan alasan bila salah akan lebih gampang dihapus. Bolpoin mulai kukenakan di sekolah ketika saya sudah SD. Dalam menulis nama ini, meskipun saya sebetulnya sudah bisa, tetapi terkadang saya menciptakan kesalahan. Namaku Dessy Purwandari, sering kusingkat nama belakangku dengan huruf 'P' saja, tetapi sering pula saya terbalik menuliskannya. Kaprikornus saya punya kesulitan membedakan huruf yang bentuknya mirip. 'P' sering terbalik peletakan kepalanya, menyerupai saya juga sering terbalik menulis huruf depan namaku bila ditulis tidak kapital, 'd' menjadi 'b' atau bahkan 'p'. Kelak, bertahun-tahun kemudian barulah saya sadari bila yang kualami semasa Taman Kanak-kanak yaitu tanda-tanda awal saya disleksia.

Lembar-lembar awal buku, yang kupelajari bersama ibu guru dan teman-teman sekelasku yaitu mengenal huruf dibantu gambar-gambar. Kelak pelajaran itu akan berlanjut menjadi mengeja dan membaca. Juga ada pelajaran berhitung dengan ilustrasi yang menggoda bawah umur TK, kelak akan bersambung menjadi penjumlahan dan pengurangan sederhana. Aku tak paham apakah kurikulum Taman Kanak-kanak yang notabene sesungguhnya merupakan taman bermain dibenarkan memperlihatkan pelajaran menyerupai yang kusebut di atas, tetapi itulah yang terjadi pada eraku.

Dalam satu kelas TK-ku, ada sekitar 20 orang murid. Beberapa di antaranya merupakan teman-teman sekampungku, lainnya berasal dari kampung-kampung lain sekitar sini juga. Dari seluruh sahabat sekelasku ini, tak semuanya saya ingat nama dan orangnya sehabis saya dewasa. Yang kuingat dan masih kukenal hingga kini tak lebih dari separuh jumlah murid di kelas.

Yang pertama, Priska yang sudah kuceritakan di awal. Dia tetangga, kakak, sekaligus sahabatku semenjak dari sebelum masuk sekolah. Kuanggap abang sendiri lantaran usianya lebih bau tanah daripadaku dan sikapnya yang mengayomi sehingga saya merasa diri punya seorang kakak. Lalu ada Isna, mitra sebangkuku yang pertama. Rumahnya sekampung denganku juga, sehabis saya pindah dari rumah Mbok Tuo dan tinggal di rumah yang baru, kami jadi bertetangga. Di awal perkenalan kami, saya agak takut padanya lantaran ia suka mencubit. Beberapa mitra sekelasku pernah menangis lantaran dicubit oleh dia, saya juga pernah tapi beruntunglah saya tidak cengeng waktu itu. Kebiasaan mencubit Isna itu berkurang sehabis kami lulus TK. Aku dan ia selanjutnya meneruskan ke sekolah dasar yang sama dan menjadi sahabat yang bersahabat hingga ketika ini.

Yang kuingat lagi, Galang. Dia berasal dari kampung yang paling jauh dari TK, tapi tetap bersekolah di situ juga lantaran pada masa itu sarana taman kanak-kanak yang memadai tampaknya gres di TK-ku. Galang ini lebih kecil dari saya waktu TK, dan selalu ditunggui ibunya hingga tiba waktu pulang. Selain Galang, ada juga Gilang. Yang ini kurang kukenal dekat lantaran nantinya ia tetap tinggal di Taman Kanak-kanak sewaktu saya sudah lulus. Kelak, ia jadi adik kelasku ketika SD. Lalu ada Esti, Helna, Risma, dan Futri. Mereka merupakan teman-teman perempuanku semasa TK. Beberapa nama lain yang juga kukenal tak seberapa punya kekerabatan dekat denganku semasa itu tapi nanti akan jadi sahabat sekelasku waktu SD.

Dan taman kanak-kanak tempat saya memperoleh pendidikan awal menjadi sebuah pintu bagi perjalanan panjang pendidikan yang kutempuh hingga dewasa. Di sini awal mula saya mengenal dingklik formal pendidikan, dan berguru bersosialisasi. Beberapa tahun setelahku, adikku juga mengenyam pendidikan di sini. Pada masanya, gedung sekolah Taman Kanak-kanak sudah dipindahkan ke lokasi lain. Gedung TK-ku yang usang karenanya menjadi sebuah tempat kenangan. Masih berdiri hingga kini hanya tidak difungsikan sebagai sekolah lagi, dan niscaya akan diingat oleh bekas bawah umur murid yang dulu pernah duduk di ruangnya, berteduh di balik atapnya, dan berguru mengenal dunia dalam lindungannya.

###

GLOSARIUM

Lempeng: kudapan menyerupai kerupuk, terbuat dari singkong

Lik: akronim dari bulik, panggilan untuk bibi di tempat Yogyakarta dan Jawa Tengah
Share This :
Johan Andin