MASIGNCLEAN101

Bab 3

[Semua foto saya sebelum berjilbab dihapus jadi mohon maaf jikalau kuat pada isi Blog. Doakan istiqomah ya teman-teman, terimakasih!]

Waktu kecil, pada pertengahan semesterku di taman kanak-kanak, kami sekeluarga pindah rumah. Dari tinggal di kediaman Mbok Tuo, orang tuaku mendapat proposal untuk menghuni sebuah rumah lain di sisi barat kampung kami. Rumah itu gres saja ditinggalkan penghuninya yang juga telah menempati kediaman gres mereka. Maka, kami pun berencana pindah kesana. Hari pindahan ditentukan. Kalau tidak salah ingat, waktu itu hari Minggu. Karena lokasi tempat gres yang akan didatangi tidak terlalu jauh, tampaknya perpindahan berjalan dengan mudah. Banyak tetangga membantu. Yang paling kusuka dari tinggal di sana memang itu; tetangga yang ramah dan senantiasa gemar tolong menolong. Padahal kami pendatang, namun ketika di sana saya mencicipi bahwa kampung tersebut merupakan kampung halamanku yang sesungguhnya. Barang-barang diangkut bersamaan. Waktu itu tidak banyak alasannya orangtuaku belum mempunyai bermacam perabot. Yang utama saja, yang kuingat waktu itu saya ikut membawa kompor bersama Mas Roni, anak tetangga barat Mbok Tuo, yang sudah menyerupai abang sendiri bagiku.

Ketika saya masih tinggal di rumah Mbok Tuo, kadang saya bermain ke rumah tetangga sekitar. Selain Priska, ada Mas Roni, Mbak Rita yang merupakan adiknya, dan Fitri yang juga sering bergabung. Aku anak sulung, jadi ketika mendapat sobat menyerupai Mas Roni saya bahagia sekali alasannya jadi punya sosok abang laki-laki. Umurnya beberapa tahun lebih bau tanah dariku, mungkin berjarak sekitar empat tahun di atasku. Aku tak seberapa ingat terang sih kini sosoknya, tapi yang kuingat perlakuannya padaku manis sekali. Aku sering digendong berkeliling kalau lelah, dan ia selalu menyerah terhadap permainan apapun yang kuinginkan.

Setelah pindah rumah, kami tidak putus komunikasi dengan Mbok Tuo. Aku masih sering tiba kesana, sekedar bermain-main atau mampir seusai pulang sekolah. Apalagi jalan saluran ke sekolahku selalu melewati rumah Mbok Tuo yang kusayangi.

Rumah gres kami - untuk selanjutnya kusebut rumah kami - berlokasi lebih tinggi. Kaprikornus begini, kampungku berada di tanah perbukitan yang tidak rata. Kami tinggal di dataran tinggi dengan kontur tanah yang naik turun. Karena kondisi ini, maka penduduk menciptakan takik-takik menyerupai tangga berukuran besar, yang di setiap anak tangganya merupakan dataran landai yang sanggup didirikan bangunan di atasnya. Rumahku terletak di ujung jalan depan belokan yang menurun tajam. Menghadap ke utara atau ka arah jalan bebatuan, dengan sisi kiri dibatasi oleh selokan kecil dan jalan setapak tanah. Di barat jalan setapak ini terdapat dinding kerikil kokoh yang di atasnya merupakan tanah milik tetanggaku. Sebelah kanan rumah merupakan halaman samping, dengan pohon jambu air tegak berdiri, dan di timurnya terdapat turunan yang diperkokoh kerikil juga supaya tidak rubuh. Di sana berdiri rumah tetanggaku yang lain.

Tetangga barat rumah, namanya Mak Mug. Hidup berdua saja dengan suaminya sehabis anak-anaknya merantau untuk bekerja. Aku tidak terlalu dekat dengan keluarga mereka alasannya waktu itu tidak ada anak kecil yang seumuran denganku yang sanggup kuajak berkawan. Selain itu mereka juga kurang ramah terhadap anak kecil, jadi saya tak pernah sengaja bermain ke sana. Sebelah timur rumah, ada tetangga yang lain, namanya Mbah War. Rumah Mbah War ramai, dengan beberapa anak menantu serta cucunya yang juga berdomisili di sana, Teman pertamaku di rumah ini nantinya yaitu salah satu cucu pria Mbah War, yang meskipun bekerjsama tidak tinggal disana, tapi sering sekali tiba ke rumah simbah-nya.

Di depan rumah kalau saya memandang ke seberang jalan, terdapat tetangga paling dekat ketiga. Dekat yang saya maksud yaitu jarak yang diharapkan untuk berkunjung. Tetangga yang ini namanya Mbah Arjo. Beliau sudah begitu tua, dan tinggal seorang diri di rumah kayunya yang sepi. Anaknya yang kutahu hanya satu, dan tinggal di rumah berbeda sehabis menikah sehingga Mbah Arjo hanya sendiri. Bagian depan rumah Mbah Arjo yaitu sebidang tanah luas yang dijadikan ladang, jadi kalau isu terkini tanam rumahnya tak terlalu kelihatan dari arah rumahku alasannya tertutup tanaman, Paling sering kulihat batang-batang singkong, atau tumbuhan jagung yang tinggi-tinggi semampai. Mbah Arjo baik sekali, dan selalu bahagia kalau saya bermain kesana. Mungkin dengan kehadiran anak kecil hidupnya menjadi lebih ramai. Aku sering tiba ke sana bersama ibuku, sekedar mengobrol ketika ibu menyuapiku makan, atau saya bermain di halaman sekaligus ladangnya, memetik daun-daun jati muda yang getahnya kemerahan untuk materi masak-masakan.

Cerita lucu yang kualami di halaman Mbah Arjo adalah, saya sering sekali kehilangan sebelah anting. Entah terlepas ketika saya berlari-lari atau bagaimana, tapi pokoknya seingatku sudah dua kali ibu membelikanku anting gres alasannya yang satunya hilang. Kami tahu hilangnya di ladang Mbah Arjo alasannya kesudahannya anting yang sebelah itu ketemu lagi jauh hari sehabis saya dibelikan yang baru. Ketemunya selalu di sisa pembakaran daun-daun kering. Antingku setengah hangus, menghitam oleh jelaga, tapi ketemu di antara hitam debu dedaunan.

Rumah yang kami tinggali mulai ketika itu bekerjsama saya kurang tahu milik siapa, tetapi pemiliknya berbaik hati mengijinkan bangunannya dihuni alasannya kebetulan mereka tinggal di kota lain. Kami tidak perlu menyewa atau mengontrak rumah tersebut, tetapi tentu saja merawatnya dengan tinggal di sana. Rumah tersebut berbentuk menyerupai rumah penduduk pada umumnya, tapi bermaterial lebih baik. Dindingnya sudah bata dimana sebagian besar penduduk lain ketika itu masih berumah dengan dinding kayu. Ada pagar semen dengan jeruji besi di depan rumah yang melindungi beberapa pepohonan di halaman depan. Penghuni rumah sebelumnya mungkin penyuka tanaman. Ada satu cemara menjulang di halaman depan rumah. Cemara tersebut sangat cantik, dengan daunnya yang hijau bau tanah ditiup-tiup angin. Pada waktu itu cuma halaman depan rumah kami saja yang ditumbuhi pohon jenis itu. Sayang tak berapa usang pohon tersebut ditebang tanpa saya tahu alasan niscaya pemunahannya.

Cucu Mbah War, tetangga sebelah timur rumah setahun lebih muda di bawah umurku. Anak pria kecil berjulukan Anggi, ia yaitu sobat bermainku yang paling sering sehabis keluargaku tinggal di rumah di atas tempat tinggal neneknya. Salah satu permainan yang paling kusukai waktu kecil dulu bersama Anggi ialah balap sepeda. Ya, waktu itu saya gres punya sepeda gres beroda empat. Setelah sebelumnya bosan naik sepeda kecil roda tiga yang kupunyai semenjak balita, kesudahannya saya dibelikan sepeda gres yang lebih besar. Warnanya merah, dengan sticker keemasan melilit rangkanya. Roda-rodanya hitam, dengan komplemen dua roda kecil komplemen di samping yang membantuku berlatih keseimbangan sebelum saya mulai berani naik sepeda roda dua. Aku ingat ketika itu berlatih naik sepeda di kebun belakang rumah yang merupakan ladang. Waktu saya berlatih itu, ladang sedang tidak ditanami. Tidak usang waktu yang kubutuhkan untuk sanggup mengayuh sepeda dengan dua roda saja, jadi kesudahannya dua roda komplemen dilepas. Sejak itu saya selalu bersepeda dengan Anggi.

Suatu sore, kami berdua bersepeda agak jauh dari rumah. Menyusuri jalan depan rumah yang merupakan kumpulan kerikil kapur diratakan, kayuhan ban sepeda kami terasa bergeronjal. Kampungku belum dijamah pembangunan terlalu maju ketika itu. Selama beberapa tahun jalan yang ada di depan rumahku, atau saluran satu-satunya penduduk di daerah itu untuk keluar kampung, masih terbuat dari batu. Batu yang dipakai yaitu kerikil kapur putih, tidak terlalu keras, dan gampang dibentuk. Batu-batu tersebut dikumpulkan dan diratakan sehingga penggalan atasnya sanggup dilalui kendaraan. Hanya saja kadang terdapat gres yang meruncing, sehingga kalau berjalan terasa menusuk kaki, atau jikalau naik sepeda sanggup menyandung ban. Hal sial tersebut pernah kualami.

Sore itu udara panas. Matahari bersinar jingga. Aku dan Anggi sudah mengayuh sepeda melewati belokan, dan kini lanjut ke perempatan nun di utara jalan. Dari perempatan ini kami berbelok ke kanan, dan bersiap akan balapan. Aku memimpin, sialnya alasannya jalanan menurun dan berbatu lagi, ban sepedaku tersandung. Dengan kecepatan tinggi alasannya pedal kukayuh sekuat tenaga supaya lari sepeda kencang, ditambah kondisi jalanan yang menurun, sepedaku eksklusif terjungkal. Aku jatuh berguling-guling hingga ke jalan penggalan bawah yang sudah melandai. Sepedaku entah kemana. Mengagetkan sekali waktu itu. Tidak sakit jadi saya tidak menangis, tapi kemudian yang kuingat saya ditolong warga sekitar yang melihat, kemudian saya malah menangis alasannya takut. Cuma lecet sedikit dan tidak parah, petangnya saya dijemput bapak pulang dengan membawa sepeda merah bekas terjatuh. Aku tak pernah kapok jatuh lagi sehabis itu, dan tetap suka naik sepeda bersama Anggi.

###

GLOSARIUM

simbah: nenek/kakek dalam bahasa Jawa
Share This :
Johan Andin