MASIGNCLEAN101

[Cerita Kenangan] Beauty And The Bis

[Semua foto saya sebelum berjilbab dihapus jadi mohon maaf bila kuat pada isi Blog. Doakan istiqomah ya teman-teman, terimakasih!]

Prolog:
Tadinya label ini memuat perjalanan hidup saya mulai dari kisah yang saya ingat ketika kecil. Maunya sih jadi urut kayak buku biografi pribadi gitu. Tapi gres hingga kepingan tiga kok udah sulit nerusinnya ya? Soalnya nggak semua peristiwa masa kecil sanggup saya ingat berurutan. Makara mulai kini saya bikin pos dongeng kenangan ini memuat hal-hal yang saya alami yang sudah terlewat - ya banyak kisah masa kecil lah - tapi ngga harus urut seteratur bab-bab dalam buku gitu. Ini akan memuat cuplikan-cuplikan dongeng saya aja. Selamat membaca :).

PS: Senengnya nulis pos berlabel ini tuh, nggak banyak istilah abnormal yang musti saya tulis ;P.

Beauty and The Bis

Dari kecil, saya nggak pernah suka naik bis. Soalnya saya mabukan anaknya. Bukan mabuk minuman keras tentu melainkan mabuk darat kalau naik kendaraan roda empat dan lebih. Oke, kita asumsikan saja bis alasannya itu yang saya angkat menjadi topik goresan pena hari ini. Jangankan untuk naik bis dalam perjalanan jauh ya gengs, gres lihat bis saja saya sudah pusing-pusing dan mual. Kayaknya memang ini berlebihan, tapi saya yakin banyak orang lain yang ngalamin hal sama. Nah, sebelum saya tidak suka naik bis, tentu saya punya pengalaman traumatik yang menyebabkannya. Pengalaman pertama naik bis dalam perjalanan jauh yang sanggup saya ingat terperinci ialah waktu piknik sekolah dasar. Kalo nggak salah saya kelas lima waktu itu. Sebelum itu saya niscaya sudah pernah naik bis juga tapi nggak ingat peristiwa lengkapnya jadi saya abaikan saja.

Bisa saya ingat, pagi-pagi kau semua murid kelas lima dan enam dikumpulkan di halaman depan sekolah. Harinya entah apa waktu itu tapi kami mengenakan seragam khusus dari sekolah yang berupa paduan kemeja kotak-kotak biru putih dengan bawahan rok atau celana biru gelap. Hampir semua murid sepertinya bersemangat akan pergi piknik. Beberapa anak ditemani walinya yang menunggu di tepi halaman, sementara sebagian lainnya menentukan mandiri. Saya? Sekeluarga ikut piknik alasannya ibuk saya tuh guru di sekolah dasar daerah saya sekolah dan sedang menyelenggarakan jadwal piknik tahunan bagi murid-muridnya. Di halaman depan kami semua diberi pengarahan nanti jalannya piknik akan ibarat apa, mau jalan ke mana dulu, pembagian daerah duduk di bis, jadwal makan, peraturan daerah duduk dan sebagainya, yah yang kayak gitulah disampaikan. Sesudah selesai, eksklusif kami semua diarahkan menuju bis.

Saya sadar banget kalau saya ini udah pusing melihat bisnya. Lupa dulu bisnya dari perusahaan apa dan spesifikasinya kayak gimana - di foto kurang terlihat jelas, tapi itu bis gede yang buat pariwisata gitu lah. Apalagi waktu naik dan mencium aroma daerah duduk dalam bis. Aroma karet yang kuat, menciptakan perut serasa diaduk dan eksklusif mual. Tapi saya sok kuat aja, sambil ketawa-ketawa naik bis sambil ngobrol dengan teman-teman. Waktu itu belum jaman pakai masker kemana-mana jadi saya tidak menggunakannya untuk menutup hidung dan mulut. Padahal kalau ada mah sanggup banget mencegah saya mencium aroma bis yang memualkan. Biar tidak kelihatan anak manja banget saya menentukan duduk bareng dua sahabat sekelas, di dingklik formasi tengah yang kursinya muat bagi tiga orang. Anggota keluarga saya entah pada duduk di mana, kayaknya di depan bareng guru-guru.

Sopir mulai menjalankan bis, dan saya amat bersyukur semua baik-baik saja. Sebelum naik bis juga udah dikasih Antimo dan dibekalin jeruk buat dimakan atau dicium kulitnya kalo pusing *ntah wangsit dari mana ini*. Kami semua bersemangat mau segera menuju lokasi wisata - kalo nggak salah keraton Jogja waktu itu lokasi pertama, trus nanti disambung ke museum dirgantara dan jelang pulang mampir ke taman Kyai Langgeng yang masa itu sedang hits. Di awal perjalanan, saya masih oke. Nggak jadi pusing plus mual alasannya keasyikan ngobrol dan makan permen. Tapi di tengah perjalanan, tragedi dimulai. Tetiba saja saya mulai pusing-pusing, trus mual juga. Sudah saya coba tahan dengan ambil nafas panjang dari mulut, lepaskan. Gitu terus beberapa kali semoga aroma bis nya nggak terlalu kehirup lewat hidung yang makin memperparah mabuknya. Tapi risikonya aing nggak tahan, jadi muntah deh. Parah pokoknya hingga ditolongin sama pak penjaga sekolah yang ikut piknik juga. *Ibuk saya entah kemana malahan waktu itu.*

Akhirnya dipindahkan ke daerah duduk di depan, dikasih minyak angin dan kantong kresek *wkwkwk*, trus syukurlah perjalanan ke tujuan wisata pertama sudah mau sampai. Begitu hingga lokasi, ganti seragam dengan pakaian bebas di dalam bis - alasannya seragam saya kena muntahan - trus turun dari bis, seketika eksklusif lenyaplah segala tanda-tanda pusing mual perut ibarat diaduk itu. Saya sehat sekejap mata. Pokoknya begitu menjauh dari bis eksklusif lah saya segar bugar ibarat tidak pernah mabuk kendaraan sama sekali dan sanggup ikut program piknik dengan gembira. Heran kan? Berpindah ke daerah wisata-tempat wisata selanjutnya memakai bis yang sama, tetap pusing tapi tidak mengecewakan enggak muntah alasannya jaraknya tidak terlalu jauh dan saya terus-terusan menghirup aroma minyak kayu putih semoga aroma bis nya tidak menusuk penciuman. Pikniknya cukup menyenangkan waktu itu, saya sempat naik rolled coaster mainan di taman dan beli dua boneka pas mau balik. Pulangnya tetep mabuk lagi hingga lemes alasannya parah banget tapi begitu hingga rumah juga udah sehat lagi.

Itu ketika SD. Sejak ketika itu saya menyimpan stress berat terhadap bis. Tapi pas SMP, saya menghadapi ironi lain. Makara saya disekolahkan ke Sekolah Menengah Pertama yang jauh dari rumah alih-alih yang bersahabat sanggup ditempuh berjalan kaki. Dari seluruh teman-teman sekelas di SD, cuma saya yang Sekolah Menengah Pertama nya lain sendiri. Bahkan sekampung saya cuman saya seorang waktu itu yang sekolahnya beda. Diskriminasi ya? Tapi itu dilakukan atas dasar saya menerima pendidikan lebih berkualitas di sekolah yang lebih bagus. Good job! Untuk hingga ke sekolah baru, saya mau tidak mau haris naik kendaraan umum a.k.a bis. Soalnya nggak ada yang luang untuk antar jemput, naik sepeda tidak memungkinkan medannya alasannya naik turun - w tinggal di gunung, dan waktu itu belum jaman ada ojek online. Makara moda transportasi saya satu-satunya hanyalah bis. Itu juga pilihan sebagian besar siswa pada masa itu. Bukan bis segede bis pariwisata, tapi yang lebih kecil standar angkutan umum. Mari kita sebut angkot saja semoga gampang dipahami. Mulai dari ketika pendaftaran, saya diajarin ibuk ke sekolah naik angkot. Jarak dari rumah saya ke sekolah tuh sekitar lima belas menit naik angkot, jadi perkirakan sendiri berapa kilometernya. Pusing dan mual? Pasti. Tapi nggak hingga muntah alasannya cuma lima belas menit sampai. Berangkat pulang jadi setengah jam. Lumayan sanggup ditolerir. Eh iya, waktu itu tarif naik angkot cuma seribu rupiah per anak jauh dekat. Murce sekali kan :).

Tiga tahun saya naik angkot melulu, mau tidak mau tumbuhlah saya menjadi lebih kebal bis dan hidung sudah tidak terlalu peka mencium amis bis, dari kursi aroma karet hingga aroma solar materi bakarnya. Sejak itu saya udah lebih berani naik bis ke lokasi-lokasi yang lebih jauh. Ke rumah temen naik bis, mangkir sekolah kabur naik bis, dan lain sebagainya dan seterusnya tanpa mengalami mabuk. Tapi nggak hingga keluar kota. Trus peristiwa nyambung ke masa pandai balig cukup akal saya. Lulus kuliah D3 saya sempat bekerja di luar kota. Jauuh dari Jogja, saya berlokasi di Tangerang. Waktu itu pas udah selesai masa kerja, mau pulang kampung. Naik kereta kehabisan tiket, naik pesawat sayang mahal, jadi apa boleh buat saya terpaksa beli tiket bis. Sempet takut mabuk alasannya itu jauh banget dan niscaya belasan jam perjalanan. Saya belum pernah naik bis sejauh itu soalnya nggak yakin apakah sanggup kuat dan udah usang nggak naik bis bahkan jarak bersahabat juga. Sebelum pulang itu berangkatnya dulu naik kereta yang aman. Pernah naik kendaraan beroda empat juga tapi ngga hingga sejauh pulang kampung. Terakhir pas jaman kuliah pernah naik bis lima jam ke Purwakarta dan mabuk juga alasannya itu jauh, macet, dan bisnya nggak nyaman. Sebelum itu pernah juga ikut rombongan kondangan ke luar kota naik minibus yang sopirnya amatiran jadi suka ngerem ngaget dan memabukkan. Intinya saya masih nggak suka bis apalagi untuk perjalanan jauh. Tapi hari waktu di Tangerang itu nekat wong kepepet daripada nggak sanggup pulang kampung.

Berangkat dari Tangerang jam dua siang, hingga terminal Jogja jam setengah tujuh pagi dengan tiga kali berhenti di terminal yang dilewati di jalan dan singgah di rest area. Berangkat saya udah minum dua butir Antimo, maksudnya semoga di jalan sanggup molor aja tahu-tahu sampai. Udah sedia masker juga yang sebelumnya dituangin minyak kayu putih aromatherapy biar sanggup mengakomodasi ketidaksukaan saya akan aroma bis wahaha. Tapi ternyata saudara-saudara, dua butir Antimo tidak ngefek apa-apa. Mata saya tetep seger hingga lewat area Bandung - kalo nggak salah. Di rest area minum dua butir lagi alasannya sebelum berhenti mulai pusing-pusing. Masih nggak ngefek. Malah semakin nggak ngantuk dan mulai pusing mual menyerang. Makara di perjalanan saya minum dua butir lagi, total jadi enam Antimo yang saya telan. Gile, orang lain harusnya udah teler tapi saya tetep melek dan sadar hingga datang di tujuan. Itu udah mualnya bertambah, kepala pusing muter-muter alasannya jalannya belak belok, nahan supaya nggak muntah alasannya takut nggak ada yang ngurusin soalnya di bis nggak ada penumpang lain yang kenal. Capek banget tapi tetep nggak sanggup tidur. Trus hingga tujuan, turun dari bis udah tidak mengecewakan lega. Bisa bawa koper sendiri dan gendong tas jalan hingga luar terminal ke lokasi penjemputan, udah sehat lagi hingga di tahap ini. Pulang ke rumah beres-beres masih juga sehat - tidak ada rasa kantuk sama sekali sungguh Antimo tidak berefek. Habis itu malah saya berani naik motor pergi facial, tidak mengecewakan jauh jaraknya dari rumah. Naah, pas di tempat facial ini malah ketiduran nyenyak. Entah alasannya Antimo nya gres ngefek atau karena facial-nya lezat (?), pokoknya saya ketiduran waktu itu dan gres sadar pas dibangunin mbak kapster yang mau bersihin masker. Wagelaseh itu mah.

Sampai hari ini saya belum pernah naik sanggup jarak sangat jauh lagi. Sejak perjalanan bis yang menghabiskan enam Antimo itu saya jadi ogah ngebis lagi. Heran juga kenapa itu Antimo tidak berefek selama perjalanan. Apakah mungkin saya sudah terlalu resisten jawaban waktu kecil keseringan minum Antimo pas naik bis? Tapi nggak sesering itu juga deh saya waktu kecil naik bis dan minum anti mabuk. Entahlah. Pokoknya semenjak pengalaman naik bis di atas saya jadi nggak ngebis lagi dan tetep tidak suka bis. Naik taksi onlen sering, tapi niscaya tidak sejauh perjalanan Tangerang - Jogja. Eh pernah ding belum usang ini buat ke luar kota tapi Alhamdulilah kini udah nggak mabukan lagi saya. Jadi...mungkin walau tidak jadi suka tapi saya udah nggak anti bis lagi kini :)!
Share This :
Johan Andin